Pendosawalan Kalinyamatan Jepara

10 September 2025

'Pujian' Sebelum Sholat Berjama’ah: Antara Syiar dan Adab

Di tengah kehidupan masyarakat Muslim di Indonesia, tradisi melantunkan 'pujian' atau sholawat dengan pengeras suara setelah adzan seringkali kita jumpai. Praktik ini, yang umumnya bertujuan untuk mengisi waktu luang menunggu imam datang, juga memberikan kesempatan kepada masyarakat sekitar yang berniat salat berjamaah di masjid/musholla agar tidak ketinggalan salat berjama'ah. Kalimat 'pujian' bisa berupa do'a, sholawat ataupun kalimah thoyyibah lain seperti tasbih, tahlil, tahmid dan lain-lain. Namun, di balik niat baik tersebut, muncul pertanyaan dan perdebatan seputar etika serta dampaknya terhadap lingkungan sekitar. Bagaimana pandangan syariat Islam mengenai hal ini? Mari kita telisik lebih dalam dengan mengacu pada Al-Qur'an, Hadits, dan sejarah Islam.


Tinjauan Dalil-Dalil Syar'i

Meskipun pujian atau dzikir setelah adzan adalah amalan yang baik, namun melaksanakannya dengan pengeras suara hingga mengganggu orang lain apalagi mengganggu mereka yang sedang melaksanakan salat berjamaah di masjid/musholla sekitarnya perlu ditinjau ulang berdasarkan dalil-dalil berikut:

Prinsip Menjaga Kekhusyukan dalam Beribadah

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an Surat Al-A'raf ayat 205:

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ

"Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah."

Ayat ini secara eksplisit menganjurkan agar berdzikir dilakukan dengan suara yang tidak terlalu keras, bahkan dianjurkan dalam hati. Tentu, ayat ini dapat dijadikan pedoman bahwa beribadah yang paling baik adalah yang dilakukan dengan penuh kerendahan hati dan tanpa harus berlebihan dalam suara.

Rasulullah SAW juga bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri RA:

إِذَا قَرَأْتُمْ فَلَا تَغْضَبُوا بَعْضُكُمْ بَعْضًا فِي الصَّلَاةِ ، إِنَّمَا هُوَ مُنَاجَاةٌ ، فَلَا تَغْضَبُوا بَعْضُكُمْ بَعْضًا

“Apabila kalian membaca (Al-Qur'an), maka janganlah salah seorang di antara kalian mengganggu yang lain dalam sholatnya. Sesungguhnya itu adalah munajat, maka janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain." (HR. Abu Dawud)

Hadits ini sangat jelas memberikan batasan. Meskipun konteksnya adalah sholat, namun maknanya dapat diperluas pada segala bentuk ibadah. Menggunakan pengeras suara untuk pujian, yang berpotensi mengganggu orang yang sedang sholat, jelas bertentangan dengan semangat hadits ini.

Gambaran Suasana Menanti Sholat Berjamaah di Zaman Nabi

Pada zaman Rasulullah SAW, tidak ada praktik melantunkan pujian atau sholawat dengan pengeras suara setelah adzan. Bahkan, waktu itu belum ada  pengeras suara. Tidak ada juga sahabat melantunkan pujian atau solawat secara bersama-sama dengan suara keras. Waktu antara adzan dan iqamah adalah waktu yang sangat dihormati dan dimanfaatkan oleh para sahabat untuk beribadah secara personal.

Berikut adalah gambaran yang dilakukan para sahabat setelah adzan:

  • Sholat Sunnah: Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

"بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، لِمَنْ شَاءَ"

“Di antara dua adzan (adzan dan iqamah) itu ada sholat (sunnah), di antara dua adzan itu ada sholat (sunnah),” kemudian pada kali ketiganya, beliau bersabda, “bagi siapa yang mau.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sholat sunnah ini adalah amalan yang sangat dianjurkan. Para sahabat biasanya melaksanakannya secara individual, di dalam masjid, tanpa suara keras.

  • Solat Sunnah Qobliyah: Ada banyak salat rawatib yang bisa dilakukan seperti qobliyah subuh, qobliyah dhuhur, qobliyah ashr , qobliyah isya’, dan lain-lain.
  • Berdoa: Waktu antara adzan dan iqamah adalah waktu yang mustajab untuk berdoa. Nabi SAW bersabda:

"الدُّعَاءُ لَا يُرَدُّ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ"

Doa tidak akan ditolak di antara adzan dan iqamah.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

  • Beristighfar dan Dzikir: Para sahabat memanfaatkan waktu tersebut untuk beristighfar, berdzikir, atau membaca Al-Qur'an dengan khusyuk dan tenang, tanpa mengganggu orang lain.

Tidak ada catatan dalam sejarah Islam awal yang menyebutkan adanya kebiasaan melantunkan pujian dengan suara keras setelah adzan. Ini menunjukkan bahwa amalan yang paling afdhal pada waktu tersebut adalah ibadah-ibadah yang bersifat personal dan khusyu'.

'Pujian' dengan Suara Keras Bagian dari Syi'ar Islam?

Ada sebagian pihak yang berpendapat bahwa melantunkan pujian dengan suara keras adalah bagian dari syi'ar (simbol) Islam. Mereka menganggapnya sebagai cara untuk menghidupkan suasana masjid dan menunjukkan keagungan Islam.

Namun, pendapat ini perlu disikapi dengan bijak:

  • Syi'ar Islam bukan hanya suara keras. Syi'ar Islam yang utama adalah adzan itu sendiri, sholat berjamaah, zakat, puasa, dan haji. Syi'ar juga mencakup akhlak mulia, kejujuran, dan kebersihan. Menegakkan syi'ar Islam yang sesungguhnya adalah dengan mempraktikkan ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh), bukan hanya pada hal-hal yang bersifat seremonial.
  • Syi'ar harus membawa manfaat, bukan mudharat. Tujuan syi'ar Islam adalah untuk menarik hati manusia, bukan membuat mereka menjauhi Islam karena merasa terganggu. Jika praktik bersuara keras justru mengganggu orang lain—terutama mereka yang sedang sholat—maka hal tersebut bertentangan dengan prinsip dasar syariat yang mengedepankan kemaslahatan umum dan menghindari mafsadah (kerusakan).
  • Prinsip menjaga adab lebih utama. Dalam Islam, adab dan etika dalam berinteraksi dengan sesama Muslim dan non-Muslim sangat ditekankan. Mengganggu orang lain, bahkan dengan niat baik, bisa mengurangi pahala ibadah. Allah SWT berfirman:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik." (QS. An-Nahl: 125)

Ayat ini mengajarkan kita untuk berdakwah dan berinteraksi dengan cara terbaik, yang tentunya tidak menimbulkan ketidaknyamanan.

Tulisan ini tidak bermaksud menyalahkan mereka yang melantunkan do'a dan puji-pujian setelah adzan, akan tetapi sekedar memberikan informasi bahwa ada kelompok masyarakat tertentu yang membutuhkan suasana yang tenang karena mereka sedang melaksanakan salat berjamaah, baik di masjid, musholla ataupun di rumah warga. Oleh karenanya, akan lebih bijak kiranya jika kita mau melakukan hal-hal berikut:

  • Ganti pengeras suara luar dengan pengeras suara dalam. Pujian atau shalawat tetap bisa dilantunkan, namun hanya terdengar di dalam masjid atau musholla. Dengan demikian, tradisi tetap terjaga tanpa mengganggu orang lain.
  • Kurangi volume pengeras suara. Jika memang ingin menggunakan pengeras suara luar, pastikan volumenya tidak terlalu tinggi, apalagi jika masjid/musholla sebelah sudah iqomah.
  • Perbanyak dzikir secara personal. Waktu menunggu sholat adalah kesempatan emas untuk berdzikir, membaca Al-Qur'an, atau sholat sunnah. Lebih baik setiap 'jamaah' memanfaatkan waktu tersebut untuk beribadah secara individu, tanpa harus bergantung pada pengeras suara yang hanya mengandalkan satu orang.

Dengan menerapkan solusi-solusi ini, kita dapat menjalankan tradisi yang baik ini sekaligus menjunjung tinggi adab dan etika beribadah sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Kesimpulan

Praktik membaca pujian setelah adzan memang merupakan bagian dari kekayaan tradisi keagamaan di sebagian masyarakat. Namun, kebaikan sebuah tradisi harus sejalan dengan prinsip-prinsip syariat, yaitu tidak menimbulkan mudharat dan selalu mengedepankan adab serta kemaslahatan bersama. Dengan demikian, ibadah kita menjadi berkah, tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi seluruh masyarakat.

 

 

Share:

08 September 2025

Merapatkan Barisan dalam Salat: Syarat Sempurna Salat Berjamaah






Merenggangkan barisan (shaf) dalam salat berjamaah adalah salah satu kesalahan yang paling sering terjadi. Padahal, merapatkan barisan salat bukan hanya sekadar anjuran, melainkan salah satu aspek penting untuk mencapai kesempurnaan salat berjamaah. Lantas, bagaimana tata cara, jarak ideal, dan hikmah di baliknya? Mari kita bahas lebih lanjut.

Tata Cara Merapatkan Barisan (Shaf)
Merangkul dan merapatkan barisan dalam salat bukanlah hal yang sulit. Berikut adalah tata cara yang dicontohkan Rasulullah ﷺ dan para sahabat:
* Luruskan Barisan: Sebelum takbiratul ihram, imam hendaknya memastikan bahwa makmum di belakangnya telah meluruskan barisannya. Imam bisa menggunakan isyarat tangan atau perkataan seperti "Luruskan shaf kalian" atau "Rapatkan dan luruskan".
* Rapatkan Bahu dan Kaki: Dalam merapatkan shaf, standar yang digunakan adalah merapatkan bahu dengan bahu, lutut dengan lutut, dan mata kaki dengan mata kaki. Tidak hanya bahu yang rapat, tapi juga kaki.
* Tutup Celah Kosong: Jika ada celah kosong di depan atau di samping, usahakan untuk segera mengisinya. Jangan biarkan ada celah kosong yang mengganggu kekhusyukan dan kerapihan shaf.
Jarak Ideal dan Contoh dari Nabi dan Sahabat
Jarak ideal dalam merapatkan shaf adalah tanpa celah. Artinya, antara satu makmum dengan makmum di sampingnya harus rapat. Sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat Nabi ﷺ.
 * Hadis riwayat Anas bin Malik:
   كَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ
   Terjemahan: “Salah seorang dari kami (para sahabat) menempelkan bahunya dengan bahu saudaranya, dan mata kakinya dengan mata kaki saudaranya.” (HR. Bukhari)
 * Hadis riwayat Nu'man bin Basyir:
   سَوُّوا صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ
   Terjemahan: “Luruskanlah shaf-shaf kalian, atau Allah akan menjadikan perselisihan di antara wajah-wajah kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
   Dalam riwayat lain, beliau juga bersabda:
   رَأَيْتُ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا غَنَمٌ سُودٌ
   Terjemahan: “Aku melihat setan masuk di antara celah-celah shaf, seolah-olah seperti kambing hitam.” (HR. Abu Dawud)
Dari riwayat-riwayat di atas, jelas bahwa praktik merapatkan bahu dan kaki adalah hal yang biasa dilakukan oleh para sahabat atas perintah Nabi ﷺ.

Hikmah dan Dampak Positifnya
Merapatkan shaf bukan sekadar aturan, melainkan memiliki hikmah yang mendalam dan dampak positif yang luar biasa:
* Meningkatkan Kekhusyukan: Ketika shaf rapat, fokus kita akan lebih terarah pada salat. Tidak ada celah yang membuat kita mudah terdistraksi.
* Menghindari Godaan Setan: Seperti yang disebutkan dalam hadis di atas, setan akan mencoba memecah konsentrasi dan kebersatuan umat Islam. Celah dalam shaf adalah salah satu pintu masuk bagi setan untuk mengganggu kekhusyukan kita.
* Menumbuhkan Solidaritas dan Kebersamaan: Ketika kita merapatkan bahu dengan saudara di samping, secara tidak langsung kita merasakan kebersamaan dan persaudaraan. Ini adalah cerminan dari persatuan umat Islam yang kuat dan saling mendukung.
*  Mendapatkan Pahala yang Berlimpah:
   مَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ
   Terjemahan: “Barangsiapa yang menyambung shaf, maka Allah akan menyambungnya (dengan rahmat-Nya). Dan barangsiapa yang memutus shaf, maka Allah akan memutusnya (dari rahmat-Nya).” (HR. Abu Dawud)

Kesimpulan
Merangkul dan merapatkan barisan (shaf) dalam salat berjamaah adalah hal yang sangat dianjurkan. Praktik ini bukan hanya sekadar teknis, melainkan memiliki makna spiritual yang mendalam. Dengan merapatkan shaf, kita menunjukkan ketaatan kepada sunnah Nabi ﷺ, meningkatkan kekhusyukan, menolak godaan setan, dan menguatkan rasa persaudaraan.
Oleh karena itu, mari kita perhatikan kembali shaf salat kita. Jangan biarkan ada celah kosong, dan pastikan kita merapatkan bahu, lutut, dan mata kaki dengan saudara di samping kita. Dengan begitu, salat berjamaah kita akan lebih sempurna dan berkah.

Share:

07 September 2025

Pentingnya Menjaga Muru'ah bagi Seorang Guru


Muru'ah adalah sebuah konsep dalam etika Islam yang merujuk pada kehormatan, harga diri, dan martabat seseorang. Ini bukan hanya tentang penampilan fisik, tapi juga tentang akhlak, perilaku, dan integritas. Bagi seorang guru, menjaga muru'ah adalah hal yang sangat penting, karena profesi ini memiliki peran sentral dalam membentuk karakter dan moralitas generasi mendatang. Berikut adalah beberapa alasan mengapa muru'ah sangat krusial bagi seorang pendidik.

Guru Sebagai Teladan (Uswatun Hasanah)
Seorang guru adalah panutan bagi murid-muridnya. Apa yang diucapkan, dilakukan, dan bahkan bagaimana ia berinteraksi dengan orang lain akan menjadi contoh. Muru'ah memastikan bahwa teladan yang diberikan adalah teladan yang baik.

Jika seorang guru memiliki muru'ah, ia akan menjaga sikap, ucapan, dan perilakunya di dalam maupun di luar sekolah. Ia akan menghindari perbuatan yang merusak citra dirinya, seperti berbohong, ingkar janji, atau bersikap tidak adil. Murid akan melihat integritas dan konsistensi ini, yang pada akhirnya akan membentuk karakter mereka.

Menumbuhkan Rasa Hormat dan Kepercayaan Murid
Ketika seorang guru memiliki muru'ah, ia akan dihormati oleh murid-muridnya. Rasa hormat ini bukan karena paksaan, melainkan karena kewibawaan dan integritas yang terpancar dari dirinya. Murid akan lebih mudah menerima pelajaran dan nasihat dari guru yang mereka hormati dan percayai.

Sebaliknya, jika seorang guru sering melakukan tindakan yang tidak pantas, seperti sering terlambat, tidak adil dalam menilai, atau menggunakan bahasa kasar, murid akan kehilangan rasa hormat. Hal ini akan berdampak buruk pada proses belajar mengajar. Kepercayaan adalah fondasi utama dalam hubungan guru dan murid.

Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
Muru'ah juga berpengaruh pada kualitas pembelajaran. Seorang guru yang menjaga muru'ahnya akan selalu mempersiapkan materi dengan baik, mengajar dengan sungguh-sungguh, dan berusaha memberikan yang terbaik bagi murid-muridnya. Ia tidak akan mudah merasa puas dengan hasil yang biasa-biasa saja.

Komitmen dan dedikasi yang muncul dari muru'ah ini akan menular kepada murid. Mereka akan melihat bahwa belajar adalah sesuatu yang serius dan penting, bukan sekadar kewajiban. Ini akan mendorong mereka untuk lebih giat dan bertanggung jawab dalam belajar.

Menjaga Kehormatan Profesi Guru
Profesi guru adalah profesi yang mulia. Dengan menjaga muru'ah, seorang guru turut menjaga kehormatan dan martabat profesi ini secara keseluruhan. Tindakan seorang guru yang tidak bermuru'ah bisa mencoreng nama baik seluruh komunitas pendidik.

Ketika masyarakat melihat bahwa para guru adalah individu yang berintegritas dan bermartabat, kepercayaan publik terhadap dunia pendidikan akan meningkat. Ini akan menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi guru untuk mengemban tugasnya dengan baik.

Kesimpulan
Menjaga muru'ah bukanlah beban, melainkan sebuah kebutuhan esensial bagi seorang guru. Ini adalah investasi jangka panjang untuk diri sendiri, murid, dan profesi keguruan. Dengan muru'ah, seorang guru tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan nilai-nilai luhur, membentuk karakter, dan menginspirasi generasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Muru'ah adalah cerminan dari hati yang tulus dan niat yang lurus dalam mendidik.

Share:

04 September 2025

Adzan: Panggilan Suci dari Langit


Adzan, sebuah kata yang bergema di seluruh penjuru dunia Muslim, bukan sekadar pengumuman waktu salat. Ia adalah panggilan suci, sebuah seruan yang menghidupkan jiwa dan mengingatkan umat manusia akan kehadiran Penciptanya.

Pengertian Adzan
Secara bahasa, kata "azan" berasal dari bahasa Arab, أَذَانٌ, yang berarti "pemberitahuan" atau "seruan". Dalam istilah syariat Islam, azan adalah serangkaian lafadz-lafadz khusus yang diucapkan dengan suara keras untuk memberitahukan masuknya waktu salat fardu dan mengajak kaum Muslimin untuk melaksanakannya secara berjamaah. Azan merupakan syiar Islam yang paling agung dan terlihat nyata di setiap penjuru dunia.

Sejarah Adzan
Sebelum azan disyariatkan, para sahabat di Madinah berkumpul dan menunggu waktu salat tanpa adanya panggilan yang teratur. Mereka pun bermusyawarah untuk mencari cara terbaik mengajak umat Islam salat. Beberapa usulan muncul, seperti menggunakan lonceng seperti umat Nasrani atau terompet seperti umat Yahudi. Namun, ide-ide tersebut ditolak oleh Rasulullah SAW karena kemiripannya dengan tradisi non-Muslim.

Kemudian, datanglah seorang sahabat bernama Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbihi Al-Anshari yang bermimpi. Dalam mimpinya, ia melihat seorang pria berjubah hijau mengajarkan lafadz-lafadz adzan kepadanya. Pria itu mengatakan, "Ini adalah cara terbaik untuk memanggil umat manusia menuju salat." Abdullah bin Zaid segera menceritakan mimpinya kepada Rasulullah SAW. Umar bin Khattab ra. juga datang dan menceritakan mimpi yang serupa. Nabi SAW kemudian membenarkan mimpi tersebut dan memerintahkan Bilal bin Rabah, seorang sahabat yang dikenal memiliki suara merdu, untuk mengumandangkan azan dengan lafaz yang telah diajarkan. Sejak saat itu, azan menjadi syariat yang abadi.

Dalil-dalil Adzan dari Al-Quran dan Hadits
Keberadaan azan disebutkan dalam Al-Quran dan banyak hadis Nabi Muhammad SAW, menunjukkan betapa pentingnya syiar ini.
Dalil dari Al-Quran:
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Ma'idah (5): 58:
وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ
Artinya: "Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) salat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mengerti."
Ayat ini secara implisit merujuk pada azan sebagai seruan untuk salat. Allah mencela orang-orang yang mengolok-olok seruan suci tersebut.
Dalil dari Hadis:
Nabi Muhammad SAW bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لَا يَسْمَعَ التَّأْذِينَ
Terjemahan: "Apabila dipanggil untuk salat (dengan azan), setan akan lari sambil terkentut-kentut sehingga ia tidak mendengar suara azan tersebut."
Hadis ini menunjukkan keutamaan dan keberkahan azan yang dapat mengusir setan.

Cara Merespon Panggilan Adzan
Ketika azan berkumandang, seorang Muslim tidak boleh mengabaikannya. Ada adab dan respons yang dianjurkan oleh para ulama:
 * Respon Lisan: Menirukan lafaz azan yang diucapkan oleh muazin, kecuali pada kalimat Hayya 'alash-shalah dan Hayya 'alal-falah, yang diganti dengan Laa haula wa laa quwwata illa billah (tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Setelah azan selesai, kita dianjurkan membaca selawat dan doa setelah azan.
 * Respon Tindakan: Menghentikan segala aktivitas yang tidak darurat, baik itu percakapan, pekerjaan, atau hiburan. Ini adalah bentuk penghormatan tertinggi terhadap panggilan Allah.

Apakah Kita Harus Memenuhi Panggilan Kemudian Salat Berjamaah?
Panggilan azan bukan hanya seruan untuk salat, melainkan juga ajakan untuk salat berjamaah. Sebagian ulama (Imam Ahmad), berdasarkan hadis dan praktik Nabi, menegaskan bahwa salat berjamaah di masjid adalah wajib (fardu ain) bagi laki-laki yang balig dan tidak memiliki uzur syar'i. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
Artinya: "Barang siapa yang mendengar panggilan (azan) dan tidak mendatanginya, maka tidak ada salat baginya kecuali karena uzur."

Juga didukung oleh hadits yang lain seperti hadits tentang keinginan Nabi untuk membakar rumah orang yang tidak mau salat berjamaah di masjid. 

Mengabaikan panggilan azan bagi laki-laki adalah tindakan yang  berakibat penyesalan karena bisa dianggap meremehkan syiar Allah dan salat berjamaah.

Kerugian Jika Tidak Menghiraukan Adzan
Meninggalkan respons terhadap adzan, apalagi tidak menunaikan salat setelahnya, adalah perbuatan yang tercela dan mengandung banyak madlorot , di antaranya:
 * Kehilangan Keberkahan: Adzan mendatangkan rahmat dan keberkahan. Mengabaikannya berarti menjauhkan diri dari rahmat Allah.
 * Menipisnya Keimanan: Adzan adalah pengingat akan Allah. Tidak menghiraukannya bisa menjadi awal dari menipisnya iman dan terjerumusnya seseorang ke dalam kemalasan dan dosa.
 * Ancaman yang Keras: Nabi SAW mengancam orang-orang yang tidak mendatangi panggilan adzan, bahkan beliau pernah berpikir untuk membakar rumah-rumah mereka. Ini menunjukkan betapa kerasnya konsekuensi dari mengabaikan panggilan tersebut.

Langkah Konkret Merespon Suara Adzan
Ada beberapa langkah  sederhana namun membutuhkan komitmen yang kuat dalam hal merespon suara adzan:
 * Hentikan aktivitas saat adzan berkumandang.
 * Dengarkan dan ikuti lafadznya dengan saksama.
 * Segera berwudu dan datangi masjid (khususnya bagi laki-laki).
 * Laksanakan salat dengan penuh kekhusyukan.

Kesimpulan
Adzan adalah karunia Allah SWT kepada umat Islam. Ia adalah panggilan suci yang menembus batas-batas waktu dan ruang, membawa pesan ketenangan dan kedamaian. Merespons azan dengan hati yang tulus, baik secara lisan maupun tindakan, adalah wujud cinta dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Mengabaikannya adalah kerugian besar yang dapat mengikis keimanan dan menjauhkan kita dari jalan yang lurus. Mari kita jadikan adzan sebagai penanda awal dari setiap kebaikan, karena di dalamnya terdapat panggilan menuju keselamatan dunia dan akhirat.

"Adzan, panggilan suci yang menghentikan dunia sejenak, agar kita ingat bahwa ada panggilan yang lebih penting dari segala kesibukan."

Share:

03 September 2025

Makmum Masbuq: Pengertian, Hukum, dan Tata Caranya

Dalam setiap salat berjamaah, terkadang ada di antara kita yang terlambat datang, sehingga tidak bisa mengikuti seluruh rangkaian salat dari awal bersama imam. Kondisi inilah yang dikenal dengan istilah makmum masbuq. Memahami apa itu makmum masbuq, bagaimana hukumnya, dan apa saja yang harus dilakukan sangat penting agar salat kita tetap sah dan sempurna.

Pengertian Makmum Masbuq

Secara bahasa, masbuq (مَسْبُوق) berarti "yang didahului" atau "yang tertinggal". Dalam terminologi fikih, makmum masbuq adalah makmum yang tidak mendapatkan takbiratul ihram bersama imam, atau tidak mendapatkan seluruh rakaat salat bersama imam. Dengan kata lain, ia datang terlambat dan baru bergabung dengan jamaah setelah imam selesai membaca Al-Fatihah, atau bahkan ketika imam sudah berada pada posisi ruku, sujud, atau tahiyat akhir.

Hukum Makmum Masbuq

Hukum salat bagi makmum masbuq adalah sah. Seorang makmum yang terlambat tidak kehilangan pahala berjamaah, asalkan ia masih sempat mengikuti salat bersama imam, meskipun hanya satu rakaat atau bahkan satu sujud. Dalil yang menjadi dasar hukum ini adalah sabda Nabi Muhammad ﷺ:

Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلَاةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ

Artinya:Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat dari salat, maka ia telah mendapatkan salat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Selain itu, hadis lain juga menyebutkan:

إِذَا أَتَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَعَلَيْكُمُ السَّكِينَةُ، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا

Artinya:Apabila kalian mendatangi salat, maka hendaknya kalian tenang. Apa yang kalian dapatkan (bersama imam) maka salatlah, dan apa yang luput (terlewat) dari kalian maka sempurnakanlah.” (HR. Al-Bukhari)

Kedua hadis ini menjadi landasan kuat bahwa makmum masbuq tetap mendapatkan keutamaan salat berjamaah dan diwajibkan untuk menyempurnakan bagian salat yang terlewat.

Apa yang Harus Dilakukan Makmum Masbuq?

Ketika seorang makmum datang terlambat dan mendapati imam sudah memulai salat, ada beberapa langkah yang harus ia lakukan dengan benar:

a. Masuk dengan Tenang dan Tidak Tergesa-gesa

Seorang makmum masbuq dianjurkan untuk tidak terburu-buru. Ia harus berjalan dengan tenang dan bersikap wajar menuju shaf, tanpa berlari atau menimbulkan kegaduhan.

b. Langsung Mengikuti Posisi Imam

Setelah sampai di shaf, makmum masbuq harus segera melaksanakan takbiratul ihram (takbir pembuka) dan langsung mengikuti posisi imam saat itu juga. Ia tidak perlu menunggu atau melakukan takbir untuk setiap gerakan.

c. Mengikuti Rangkaian Salat hingga Imam Salam

Makmum masbuq wajib mengikuti seluruh gerakan imam hingga imam mengucapkan salam terakhir. Ia tidak boleh mendahului atau menyempurnakan rakaat yang kurang sebelum imam selesai salam.

d. Menyempurnakan Raka'at yang Kurang

Setelah imam mengucapkan salam, makmum masbuq harus berdiri untuk menyempurnakan rakaat yang terlewat. Tata cara penyempurnaannya adalah sebagai berikut:

  • Jika tertinggal satu rakaat: Setelah imam salam, ia langsung berdiri, menambah satu rakaat lagi dengan membaca Al-Fatihah dan surah, lalu ruku, sujud, dan tahiyat akhir.

  • Jika tertinggal dua rakaat: Setelah imam salam, ia berdiri dan menambah dua rakaat. Pada rakaat pertama, ia membaca Al-Fatihah dan surah, lalu ruku dan sujud. Pada rakaat kedua, ia hanya membaca Al-Fatihah saja (sebagaimana rakaat ketiga dan keempat dalam salat fardhu), lalu ruku dan sujud, kemudian tahiyat akhir.

  • Jika tertinggal tiga rakaat: Setelah imam salam, ia berdiri dan menambah tiga rakaat. Pada rakaat pertama, ia membaca Al-Fatihah dan surah. Pada rakaat kedua dan ketiga, ia hanya membaca Al-Fatihah, lalu diakhiri dengan tahiyat akhir.

Bagaimana Cara Menghitung Jumlah Rakaat yang Didapatkan ?

Sebuah rakaat dianggap sah didapatkan oleh makmum masbuq jika ia sempat ruku bersama imam dalam keadaan tuma'ninah (tenang).

Dalilnya dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الصَّلَاةِ وَالإِمَامُ رَاكِعٌ فَلْيَرْكَعْ وَلاَ تَعُدَّ بِذَلِكَ شَيْئًا، وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ

Artinya: "Apabila salah seorang di antara kalian mendatangi salat dan imam sedang ruku', maka hendaklah ia ruku' (bersama imam), dan jangan menganggap itu (sebagai satu rakaat). Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat, maka ia telah mendapatkan salat." (Hadis ini ada dua riwayat, namun riwayat yang lebih kuat adalah yang menyebutkan bahwa rakaat dihitung jika sempat ruku bersama imam, sebagaimana pendapat mayoritas ulama).

Bagaimana jika makmum (baik masbuq atau tidak) mendapati imam sudah ruku' sementara ia sendiri belum selesai membaca Al-Fatihah?

Ada dua pendapat utama di kalangan ulama:

  1. Pendapat Mayoritas Ulama (Mazhab Syafi'i, Hanafi, dan Maliki): Makmum wajib menghentikan bacaan Al-Fatihahnya dan langsung mengikuti gerakan ruku' imam.

    Alasannya adalah bahwa keutamaan mendapatkan ruku' bersama imam lebih utama daripada menyempurnakan bacaan Al-Fatihah. Rakaat tidak dianggap sah jika makmum tidak sempat ruku' bersama imam. Jadi, prioritas utamanya adalah mendapatkan ruku' bersama imam agar rakaat tersebut terhitung sah.

  2. Pendapat Sebagian Ulama (Mazhab Hanbali): Makmum harus tetap menyelesaikan bacaan Al-Fatihahnya, meskipun imam sudah ruku' atau bahkan sudah sujud.

    Alasannya adalah karena bacaan Al-Fatihah merupakan rukun (syarat wajib) dalam salat, dan rukun tidak boleh ditinggalkan. Namun, ada pengecualian jika makmum khawatir imam sudah bangkit dari ruku' (i'tidal) sebelum ia sempat ruku', maka dalam kondisi ini ia harus segera ruku' bersama imam agar tidak ketinggalan. Kewajiban utama makmum dalam salat berjemaah adalah mengikuti imam. Meskipun membaca Al-Fatihah adalah rukun salat, namun saat berada dalam jemaah, rukun tersebut memiliki batasan waktu yang terikat dengan gerakan imam.

Kesepakatan Ulama

Para ulama sepakat bahwa jika imam sudah ruku' dan makmum belum selesai membaca Al-Fatihah, maka makmum harus segera ruku' bersama imam. Dalam kondisi seperti ini, rukun membaca Al-Fatihah bagi makmum dianggap gugur karena uzur (halangan) untuk menjaga keteraturan salat berjemaah.

Salat berjemaah menuntut adanya keseragaman gerakan. Prioritas utama makmum adalah menjaga keselarasan dengan imam. Jika makmum tidak segera ruku' dan memilih untuk menyelesaikan bacaan Al-Fatihah, maka ia akan tertinggal dari jemaah dan bisa merusak salatnya sendiri.

Referensi : AlKutub alMu'tabaroh


Share:

Postingan Populer