Di tengah kehidupan
masyarakat Muslim di Indonesia, tradisi melantunkan 'pujian' atau sholawat dengan
pengeras suara setelah adzan seringkali kita jumpai. Praktik ini, yang umumnya
bertujuan untuk mengisi waktu luang menunggu imam datang, juga memberikan kesempatan kepada masyarakat sekitar yang berniat salat berjamaah di masjid/musholla agar tidak ketinggalan salat berjama'ah. Kalimat 'pujian' bisa berupa do'a, sholawat ataupun kalimah thoyyibah lain seperti tasbih, tahlil, tahmid dan lain-lain. Namun, di balik niat baik tersebut, muncul pertanyaan dan perdebatan seputar
etika serta dampaknya terhadap lingkungan sekitar. Bagaimana pandangan syariat
Islam mengenai hal ini? Mari kita telisik lebih dalam dengan mengacu pada
Al-Qur'an, Hadits, dan sejarah Islam.
Tinjauan
Dalil-Dalil Syar'i
Meskipun pujian atau
dzikir setelah adzan adalah amalan yang baik, namun melaksanakannya dengan
pengeras suara hingga mengganggu orang lain apalagi mengganggu mereka yang sedang melaksanakan salat berjamaah di masjid/musholla sekitarnya perlu ditinjau ulang berdasarkan
dalil-dalil berikut:
Prinsip Menjaga
Kekhusyukan dalam Beribadah
Allah SWT berfirman
dalam Al-Qur'an Surat Al-A'raf ayat 205:
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً
وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ
الْغَافِلِينَ
"Dan sebutlah
(nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan
tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang lengah."
Ayat ini secara
eksplisit menganjurkan agar berdzikir dilakukan dengan suara yang tidak terlalu
keras, bahkan dianjurkan dalam hati. Tentu, ayat ini dapat dijadikan pedoman
bahwa beribadah yang paling baik adalah yang dilakukan dengan penuh kerendahan
hati dan tanpa harus berlebihan dalam suara.
Rasulullah SAW juga
bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri RA:
إِذَا قَرَأْتُمْ فَلَا تَغْضَبُوا بَعْضُكُمْ بَعْضًا
فِي الصَّلَاةِ ، إِنَّمَا هُوَ مُنَاجَاةٌ ، فَلَا تَغْضَبُوا بَعْضُكُمْ بَعْضًا
“Apabila kalian
membaca (Al-Qur'an), maka janganlah salah seorang di antara kalian mengganggu
yang lain dalam sholatnya. Sesungguhnya itu adalah munajat, maka janganlah
sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain." (HR. Abu Dawud)
Hadits ini sangat
jelas memberikan batasan. Meskipun konteksnya adalah sholat, namun maknanya
dapat diperluas pada segala bentuk ibadah. Menggunakan pengeras suara untuk
pujian, yang berpotensi mengganggu orang yang sedang sholat,
jelas bertentangan dengan semangat hadits ini.
Gambaran Suasana
Menanti Sholat Berjamaah di Zaman Nabi
Pada zaman Rasulullah
SAW, tidak ada praktik melantunkan pujian atau sholawat dengan pengeras suara
setelah adzan. Bahkan, waktu itu belum ada pengeras suara. Tidak ada juga sahabat melantunkan pujian atau solawat secara bersama-sama dengan suara keras. Waktu antara adzan dan iqamah
adalah waktu yang sangat dihormati dan dimanfaatkan oleh para sahabat untuk
beribadah secara personal.
Berikut adalah
gambaran yang dilakukan para sahabat setelah adzan:
- Sholat Sunnah: Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
"بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ،
لِمَنْ شَاءَ"
“Di antara dua adzan
(adzan dan iqamah) itu ada sholat (sunnah), di antara dua adzan itu ada sholat
(sunnah),” kemudian pada kali ketiganya, beliau bersabda, “bagi siapa yang
mau.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sholat sunnah ini
adalah amalan yang sangat dianjurkan. Para sahabat biasanya melaksanakannya
secara individual, di dalam masjid, tanpa suara keras.
- Solat Sunnah Qobliyah: Ada banyak salat rawatib yang bisa dilakukan seperti
qobliyah subuh, qobliyah dhuhur, qobliyah ashr , qobliyah isya’, dan
lain-lain.
- Berdoa: Waktu antara adzan dan iqamah adalah waktu yang mustajab untuk
berdoa. Nabi SAW bersabda:
"الدُّعَاءُ لَا يُرَدُّ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ"
“Doa tidak akan
ditolak di antara adzan dan iqamah.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
- Beristighfar dan Dzikir: Para sahabat memanfaatkan waktu tersebut
untuk beristighfar, berdzikir, atau membaca Al-Qur'an dengan khusyuk dan
tenang, tanpa mengganggu orang lain.
Tidak ada catatan
dalam sejarah Islam awal yang menyebutkan adanya kebiasaan melantunkan pujian
dengan suara keras setelah adzan. Ini menunjukkan bahwa amalan yang paling
afdhal pada waktu tersebut adalah ibadah-ibadah yang bersifat personal dan
khusyu'.
'Pujian' dengan Suara Keras Bagian dari Syi'ar Islam?
Ada sebagian pihak
yang berpendapat bahwa melantunkan pujian dengan suara keras adalah bagian dari
syi'ar (simbol) Islam. Mereka menganggapnya sebagai cara untuk menghidupkan
suasana masjid dan menunjukkan keagungan Islam.
Namun, pendapat ini
perlu disikapi dengan bijak:
- Syi'ar Islam bukan hanya suara keras. Syi'ar Islam yang utama adalah adzan
itu sendiri, sholat berjamaah, zakat, puasa, dan haji. Syi'ar juga
mencakup akhlak mulia, kejujuran, dan kebersihan. Menegakkan syi'ar Islam
yang sesungguhnya adalah dengan mempraktikkan ajaran Islam secara kaffah
(menyeluruh), bukan hanya pada hal-hal yang bersifat seremonial.
- Syi'ar harus membawa manfaat, bukan
mudharat. Tujuan syi'ar
Islam adalah untuk menarik hati manusia, bukan membuat mereka menjauhi
Islam karena merasa terganggu. Jika praktik bersuara keras justru
mengganggu orang lain—terutama mereka yang sedang sholat—maka hal tersebut
bertentangan dengan prinsip dasar syariat yang mengedepankan kemaslahatan
umum dan menghindari mafsadah (kerusakan).
- Prinsip menjaga adab lebih utama. Dalam Islam, adab dan etika dalam
berinteraksi dengan sesama Muslim dan non-Muslim sangat ditekankan.
Mengganggu orang lain, bahkan dengan niat baik, bisa mengurangi pahala
ibadah. Allah SWT berfirman:
ادْعُ
إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
"Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan
bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik." (QS. An-Nahl: 125)
Ayat ini mengajarkan
kita untuk berdakwah dan berinteraksi dengan cara terbaik, yang tentunya tidak
menimbulkan ketidaknyamanan.
Tulisan ini tidak bermaksud menyalahkan mereka yang melantunkan do'a dan puji-pujian setelah adzan, akan tetapi sekedar memberikan informasi bahwa ada kelompok masyarakat tertentu yang membutuhkan suasana yang tenang karena mereka sedang melaksanakan salat berjamaah, baik di masjid, musholla ataupun di rumah warga. Oleh karenanya, akan lebih bijak kiranya jika kita mau melakukan hal-hal berikut:
- Ganti pengeras suara luar dengan pengeras
suara dalam. Pujian atau
shalawat tetap bisa dilantunkan, namun hanya terdengar di dalam masjid
atau musholla. Dengan demikian, tradisi tetap terjaga tanpa mengganggu
orang lain.
- Kurangi volume pengeras suara. Jika memang ingin menggunakan pengeras
suara luar, pastikan volumenya tidak terlalu tinggi, apalagi jika masjid/musholla sebelah sudah iqomah.
- Perbanyak dzikir secara personal. Waktu menunggu sholat adalah kesempatan emas untuk berdzikir, membaca Al-Qur'an, atau sholat sunnah. Lebih baik setiap 'jamaah' memanfaatkan waktu tersebut untuk beribadah secara individu, tanpa harus bergantung pada pengeras suara yang hanya mengandalkan satu orang.
Dengan menerapkan
solusi-solusi ini, kita dapat menjalankan tradisi yang baik ini sekaligus menjunjung
tinggi adab dan etika beribadah sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Kesimpulan
Praktik membaca pujian
setelah adzan memang merupakan bagian dari kekayaan tradisi keagamaan di sebagian
masyarakat. Namun, kebaikan sebuah tradisi harus sejalan dengan
prinsip-prinsip syariat, yaitu tidak menimbulkan mudharat dan selalu
mengedepankan adab serta kemaslahatan bersama. Dengan demikian, ibadah kita
menjadi berkah, tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi seluruh
masyarakat.